Selasa, 19 Juni 2012

Jalan itu (ternyata) panjang dan berliku tajam..

Sudah lama saya tak corat coret diblog, terutama setelah ada kebijakan untuk menutup seluruh akses socmed melalui proxy, riwayat blog saya nyaris tamat..

hehe

Hampir 1,5 bulan saya tak memposting tulisan. Jemari rasanya kaku semua. Pikiran rasanya mandeg. Dulu, sehari saya bisa memposting 3-4 tulisan. Jadi ketika aksesnya tertutup, maka saya pun susah membiasakan diri untuk tak menulis.

Beruntung saya punya akun twitter..

Kebiasaan saya menulis sedikit tersalurkan disana. Saya dapat berkicau mengenai konsep gagasan. Tentang Nasionalisme, Politik, Sains dan Agama..

Nah, yang terakhir saya sebut ini yang hendak saya bahas menjadi pokok pikiran tulisan saya kali ini.

Awalnya saya tak begitu intens menyuarakan agama. Bagi teman-teman yang mem-follow saya sejak awal mungkin tahu bahwa kicauan saya tidaklah sekental saat ini saat membahas tentang Agama. Biasanya saya nge-twit soal keseharian, tips pertanian (maklum saya kan petani), juga aktifitas saya di Organisasi. Tak jauh dari itu.

Tapi beberapa pekan terakhir ini saya merasa tertantang untuk bersuara dan mengangkat tema Islam dalam twit-twit saya. Why?

Saya mulai resah dengan gencarnya gerakan yang bertajuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Saya tertarik untuk meng-counter pemikiran JIL ini semenjak Ulil menjawab pertanyaan dari Followernya mengenai Tattoo, dimana dia menjawab bahwa Tattoo diperbolehkan dalam Islam. What?!!

Belum lagi gagasannya yang mendorong kawin beda Agama.. Hmm.. Ini kalau diteruskan, bukan tidak mungkin anak-anak saya kelak yang akan jadi korban.. Naudzubillah summa naudzubillahimindzalik!!

Dari situ saya tergerak untuk kembali membuka-buka kitab tua diperpustakaan saya dan mengabarkan yang benar meski follower saya sedikit.

Terus dan terus saya suarakan hal-hal prinsipil yang hendak dibelokkan oleh orang-orang JIL macam Ulil, Assyaukanie ataupun Guntur Romlie.

Pendek kata, dia ngetwit apa yang bertentangan dengan Islam, saat itu juga saya pulang dan menyuruh pembantu saya mencarikan buku di perpustakaan saya. Saat itu juga saya twitkan bantahan yang berasal dari Hadis dan Qur'an.

Terus terang, tujuan saya awalnya adalah semampu diri untuk menanggulangi gerakan JIL ini dengan cara bersuara melalui Twitter, meski (sekali lagi) follower saya sangat kecil. Tapi tak jadi soal, yang penting saya berusaha, soal hasil urusan Allah..

Tibalah saya menemukan hashtag (#) IndonesiaTanpaJIL.

Oke... Saya awalnya tak hiraukan, karena saya pikir ini hanya euforia singkat untuk mengimbangi hashtag IndonesiaTanpaFPI. Ya cuma lelucon di Twitland belaka..

I was wrong.. Ternyata Indonesia Tanpa JIL ini gerakan yang sangat solid. Banyak twit saya yang di Re-twit oleh teman-teman di Indonesia Tanpa JIL ini.

Pernah suatu ketika saya berdebat dengan Ulil mengenai nikah beda Agama. Saya pertanyakan landasan Ulil mengenai gagasannya mengenai nikah beda agama ini. Ternyata dia tak mampu jawab ketika saya sodorkan Surah Al Baqarah Ayat 221. Muter-muter jawabannya..

Lalu saat Ulil membolehkan menggambar Nabi. Saya twitkan tentang itu juga, tapi tentu saja dengan dalil dari Hadits dan Qur'an yang dengan gamblang mengharamkannya. Jadilah saya diblock oleh beberapa penikmat pemikiran JIL ini.

Masih banyak lagi perdebatan antara saya dengan komplotan JIL ini. Bahkan ada yang menyinggung masalah Muallaf dan sebagainya. Membabi buta. Nyaris tak ada argumentasi yang berkualitas selain bernada merendahkan dan melecehkan.

Saya terima saja, toh saya tak akan turun derajad karena itu. Terpenting niatan awal saya untuk penyelamatan generasi dari paham yang melenceng ini tersampaikan.

Hanya saja, saya kurang sreg bila kemudian beberapa sahabat di twitland yang memanggil saya dengan sebutan 'Ustadz'..

Plakk....

Rasanya saya tertampar keras oleh sebutan itu. Kenapa?





1. Saya belumlah mapan secara Ilmu hingga harus mendapat predikat itu.
2. Saya tak siap untuk bertanggung jawab dihadapan Allah kelak atas predikat itu. Tentu kalau ada  kesalahan ucapan dari saya lalu diikuti, maka sayalah yang menanggung dosa orang itu. Berat.. Saya tak siap dan tak akan pernah siap.
3. Usia saya baru 28 tahun... Kalau mendapat sebutan itu rasanya ada jarak dengan teman-teman sebaya dalam pergaulan. Kesannya antara guru dan murid. Saya tak mau ada jarak, karena pada hakekatnya saya juga belajar dari teman-teman.

Untuk itu setiap ada yang mention menggunakan sebutan itu, pasti saya tegur. Logikanya mudah kok.. Menurut saya, suatu gagasan itu akan lebih mudah diserap bila disampaikan dan diselipkan saat bercanda tawa dan bergurau daripada saklek seperti dikelas..hehe




Juga saya pun dapat belajar balik dari tanggapan-tanggapan. Tak ada rasa ewuh mekewuh (apa sih bahasa Indonesianya? Hehehe). Jadi enak, gayeng..




Nah, coba bayangkan bila suatu gagasan disampaikan 'top down' dengan sebutan Ustadz tadi. Seperti antara seorang Murid dengan Mursyid-nya... Waduuhh... Iya kalau yang saya sampaikan benar semua, lah Ilmu agama saya masih seujung kuku bayi (lebih kecil lagi malah), kalau salah kan gawaaattt....




Hehehe....




Hikmah yang dapat saya petik dari upaya saya beberapa pekan terakhir ini adalah mencoba meresapi dan merasakan apa yang terjadi terhadap perjuangan para pendahulu kita yang men-syiar-kan Islam. Betapa berat medan yang harus mereka lalui. Melewati cacian, ancaman pembunuhan, rasa lapar dan keterasingan. Tapi mereka tetap Istiqomah untuk menyampaikan sinar terang ditengah kegelapan.




Masya Allah....




Sungguh apa yang saya alami ini jauh lebih ringan dari para Guru itu. Kalau saya dapat sampaikan dengan mudah karena cukup lewat twit sambil duduk manis dan minum teh, tapi Beliau-Beliau itu berjalan kaki untuk menemui murid-muridnya. Bahkan sembunyi-sembunyi untuk mengajarkan Islam, hingga akhirnya besar seperti sekarang ini. Belum lagi taktik yang harus digunakan untuk mereduksi tradisi masyarakat saat itu agar tak jatuh ke lubang kemusyrikan. Sungguh sulit saya membayangkan betapa berat langkah kaki para Mursyid itu.

Juga resistensi yang harus didapat karena menyuarakan sesuatu yang sama sekali baru ditengah masyarakat. Saya mungkin hanya menghadapi orang-orang yang tak mampu berlogika secara sehat, merusak. Tapi para Mursyid itu menghadapi pedang dan belati dari orang-orang yang tak mampu berlogika, lagi kalap.




Ya Allah...




Mudah-mudahan saya dapat meneladani sikap mereka.. Istiqomah untuk berjuang di Jalan Allah, meski pergulatan dalam perjalanan itu cukup berat. Menempa bathin. Membutuhkan kesabaran.




Semoga saya bisa.. Bismillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar