Minggu, 17 Maret 2013

SKYFALL




Saya percaya dan yakin semua pembaca sudah melihat film action SKYFALL, sebuah kelanjutan dari film James Bond 007 yang sudah menginjak tahun ke 50 penayangannya. Secara garis besar film itu mirip dengan film Mission Impossible, hanya lakon dan jalan ceritanya saja yang berbeda. Dibesut dengan apik oleh sutradara kawakan, Sam Mendes, film ini seperti menemukan arah baru. Dari matinya M hingga bergantinya sosok Q, seolah menahbiskan tentang bagaimana gambaran cerita Bond pada tahun-tahun penayangan selanjutnya, lebih modern dan seolah meninggalkan konservatisme spionase. Menarik untuk dinantikan seri-seri selanjutnya dari agen 007 ini.

Skyfall secara harafiah dapat diartikan sebagai langit runtuh. Soal arti tepatnya apa mengenai judul film 007 itu, jujur saya tidak tahu karena dalam film itu Skyfalll adalah sebuah daerah tempat James Bond lahir dan dibesarkan. Sebuah lembah di Scotlandia.

Oke...

Apa yang akan saya tulis kali ini bukan resensi film James Bond atau membahas tentang gadis Bond yang selalu tampil atraktif dan tentu saja seksi.. Hehe.. No.. Saya ingin membahas tentang Demokrasi.

Bila ditanyakan apa itu Demokrasi, maka dengan mudah orang akan menjawab suatu bentuk Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Idealnya seperti itu, dan harus seperti itu. Di era modern seperti saat ini, Demokrasi berdiri diatas 4 pilar sebagai penyangga utamanya. Setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka pilar yang ke empat adalah media.

Tanpa membuat argumentasi yang berbelit-belit kita dapat ambil sebuah gambaran betapa penting peran media dewasa ini. Kita semua (termasuk saya) begitu bangun tidur, hal pertama yang dilakukan setelah mandi dan sholat adalah baca koran atau menonton berita pagi di televisi. Bahkan ada yang ekstrim, bangun tidur langsung pencet remote televisi melihat berita. Itu demi mendapat informasi terkini yang terjadi di negeri ini. Atau minimal agar tak terlalu gagap ketika bertemu teman-teman dan membicarakan sebuah persoalan. Macam-macam niatan orang untuk menyimak media, terutama untuk menu berita.

Dari sini dapat kita pahami bahwa kian hari porsi media kian besar dan makin tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kita yang majemuk dan haus informasi.

Sepertinya uji zaman adalah sebuah keniscayaan yang akan menerpa siapapun penduduk alam semesta berikut hasil-hasilnya. Media (sebagai produk peradaban) tak luput untuk diuji oleh zaman.

Bisakah media murni menjadi penyaji informasi?

Atau media mulai merangkai opini dalam satu lajur dengan informasi?

Jika memang opini itu benar terangkai dengan informasi, apakah opini itu objektif?

Atau hanya akan menjadi penguatan asumsi yang mulai berkembang di masyarakat bahwa media mulai berubah menjadi alat pembentuk opini?

Sekali lagi saya katakan, itu adalah ujian zaman.. Waktu selalu mempunyai cara untuk menyeleksi siapapun yang dikehendaki. Dan itu tak dapat direkayasa oleh tangan-tangan manusia.

Saya teringat ucapan Malcolm X: "If you don't stand for something you will fall for anything.."

Cukup fair untuk saya katakan bahwa betapapun besar arti hadir media dalam kehidupan keseharian kita, namun tetap kita harus meletakkan kekritisan berfikir sedikit lebih tinggi dalam menangkap dan menyaring berita yang disajikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa 70% media yang ada di Indonesia adalah milik politisi. Wajar jika ada perbedaan 'benang merah' ketika membicarakan satu pokok persoalan. Media satu bicara begini, sementara media lain bicara begitu. Meski ada juga berita yang proporsional seperti pencuri yang dihajar massa, atau pencopet yang tertangkap. Selebihnya, kita harus ekstra kritis dan objektif, sebab bila tidak (saya khawatir) kita justru terjebak dalam sebuah drama kecil dalam pusaran konflik politik.

Sering ada kebingungan ketika menyaksikan berita yang menghadirkan seorang narasumber. Di stasiun televisi ini dengan narasumber ini bilang begini. Sementara di stasiun televisi itu, dengan narasumber itu berbicara begitu. Mana yang benar? Mana yang bisa dijadikan pijakan pemirsa?

Hal ini menjadi semakin tidak sehat manakala media telah melabeli seseorang menjadi tersangka dalam sebuah kasus, meski otoritas yang berwenang untuk menyematkan label itu belum bertindak sejauh itu. Sehingga masyarakat terstigmakan bahwa orang itu adalah benar-benar tersangka. Tentu ini bukan keadilan yang seharusnya disuarakan dan ditegakkan media sebagai salah satu pilar demokrasi.

Kemana sebenarnya 'kaki-kaki' media itu berpijak?

Sebagai masyarakat yang sekaligus konsumen pemberitaan, tentu saya, anda, kita semua berharap objektifitas dari berita yang tersaji untuk dikonsumsi. Begitu pula narasumber yang dihadirkan untuk memberikan opininya terkait sebuah persoalan. Kita pun berharap kejujuran dan kebenaran masih menjadi semangat utama sebuah media dalam menyajikan berita. Betapapun, media memiliki rambu-rambu dalam menyusun sebuah warta yaitu "5W+1H" yang sama sekali tidak boleh dilanggar.


Kembali pada film James Bond....




Dalam film Skyfall itu tergambar seorang tokoh jenius bernama Silva yang dalam kisah itu bernama asli Tiago Rodriguez. Tokoh itu adalah mantan agen yang kecewa terhadap 'M' (kepala intelijen MI6) karena merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh 'M' dimasa lalu. Kemudian Silva menyusun sebuah rencana besar dimana 'M' menjadi target utamanya. MI6 pun dibuat kalang kabut dan dipaksa menuruti langkah-langkah yang telah disusun oleh mantan agennya itu. Meski akhirnya Silva berhasil dihabisi oleh Bond, tapi 'M' ikut mati bersama Silva akibat tersasar peluru yang dilepaskan anak buah Silva.

Berkaitan dengan Skyfall yang menjadi judul dari tulisan ini, saya ingin mengguratkan sebuah harapan agar kiranya media-media di Indonesia dapat lebih mengutamakan kepentingan informasi publik diatas kepentingan golongan. Tentu kita tidak ingin porsi media yang sudah menduduki pilar keempat demokrasi itu tergerus dan tergantikan oleh informasi yang terjalin melalui social media seperti twitter. Bukannya apa, sangat tidak nyaman untuk ditulis dan dibaca bila pilar ke 4 Demokrasi kita adalah Twitter. Karena saat ini, Twitter telah menjelma menjadi sarana untuk berbagi informasi dan berita yang memiliki kecepatan dan akurasi mengagumkan. Jangan sampai masyarakat merasa kepada media, lalu bergerak menjadi 'wartawan' online yang memberikan informasi atas suatu persoalan melalui media Twitter.

Well...

Siapa kelak yang akan takluk oleh seleksi zaman? Saya, anda, kita semua tidak ada yang tahu pasti. Namun kita semua akan menjadi saksi bahwa kebenaran adalah kebenaran yang tidak dapat dibungkus oleh apapun dan oleh siapapun.

Sekian.







Selasa, 12 Maret 2013

Waktu....

Bismillah...

Kaku rasanya jemari menyentuh blog ini.. Hmmm.. Sudah lama sekali saya tidak mencorat-coret disini. Kalau dihitung-hitung sudah hampir 1tahun saya tinggalkan 'rumah ide' ini.. Hehehe.

Waktu...

Sayyidina Ali pernah berkata bahwa waktu adalah pedang.

Saya merasakan benar kata mutiara itu mengejar dan nyaris menebas leher.. Haha..

Bayangkan saja, saat ini saya menjadi Pemimpin Redaksi majalah 'Planner' sekaligus menjadi editor untuk website milik Bappeda. Belum lagi rutinitas dunia pertanian yang menyita waktu dan pikiran saya. Ditambah lagi deadline untuk menerbitkan buku pada bulan depan. Dan yang pasti menyapa sahabat-sahabat di jagad twitter. Benar-benar rutinitas itu telah menghajar saya dari delapan arah mata angin.

Disela-sela kesibukan itu, tugas utama saya sebagai ayah dan suami tak boleh terabaikan. Hari sabtu dan minggu atau hari libur nasional, praktis saya gunakan untuk bersama keluarga dan sahabat-sahabat didunia nyata.

Betapapun saya terbang tinggi di dunia tulis menulis, dunia abstrak, dunia maya, atau apa pun lah itu namanya, keluarga adalah dunia saya yang paling nyata.

Hmm...

Saya adalah tipikal orang yang tidak mau kehilangan momentum untuk menyaksikan tumbuh kembang anak. Setiap detil pertumbuhan anak saya harus tahu dan ikuti.

Benjamin Franklin bilang "lost time is never found again"

Betapa menyesalnya saya jika sampai melewatkan tumbuh kembang anak. Tahu-tahu anak bisa lari, tanpa tahu bagaimana tertatihnya anak saat belajar berdiri, tentu merupakan kesedihan yang mendalam.

Why?

Karena tak mungkin kita mengajari anak untuk belajar berjalan sementara dia sudah bisa bermain sepak bola, kan? Hehe..

Ada banyak orang tua yang begitu saja menyerahkan pengasuhan anak pada pembantu atau baby sitter. It's Ok. It's a choice..

Mungkin dengan alasan kesibukan rasa sesal itu berhasil mereka patahkan. Tapi jangan juga mencap anak durhaka jika kelak dengan alasan yang sama meletakkan orang tua semacam itu pada panti jompo...


Waktu yang berlalu tak akan pernah bisa ditemukan kembali...


Sebagai manusia biasa, tentu saya merasa memiliki banyak kekurangan. Saya bukan Superman yang bisa menyelamatkan mobil dari tabrakan meski hanya beberapa detik dari kejadian. Atau membawa keangkasa orang-orang yang dicintai. No.. I'm not that one.

Saya juga punya stok kesabaran. Saya juga bisa ngantuk. Dan yang pasti saya tak bisa terbang..

Kadang orang melihat apa yang nampak diluar saja. Tampak tenang, selalu senang, menjauh dari kesulitan dsb. Hehe...

Saya, anda, kita semua itu pada hakekatnya sama.

Allah sudah memberi takaran yang sempurna terhadap berbagai persoalan dalam hidup hambanya. Saya pun memiliki permasalahan. Sama kok. Hanya saja manajemen konflik saja yang membuat berbeda.

Saya diajarkan oleh orang tua agar selalu menyimpan rapat persoalan yang dihadapi. Tidak semua untuk konsumsi orang atau teman, sekalipun orang itu berlabel sahabat. Karena disanalah letak kedewasaan kita akan dinilai.

Sejak dari itu, setiap persoalan yang ada selalu saya dan istri selesaikan berdua. Jangankan tetangga, pembantu pun sedapat mungkin tidak tahu.

Itu prinsip.

Saya kemarin malam sedang makan malam bersama keluarga disebuah restoran. Suasananya nyaman dan tenang. Alunan musik berkejaran dengan gemericik air dari kolam ikan.

Tapi ketenangan kami terganggu oleh ulah seorang pria dan wanita yang dengan nada tinggi saling membentak.

Kegeraman saya makin menjadi karena ada 4 mata bocah yang menyaksikan adegan menyedihkan itu. Mereka adalah anak-anaknya.

Anak-anak saya yang tak pernah melihat hal seperti itu kontan ketakutan.

Nyaris saya lempar air kobokan pada mereka agar berhenti mempertontonkan adegan tak berbudaya itu. Kenapa air kobokan? Karena dirumah, kalau ada kucing ribut solusi singkatnya ya diguyur air.. Hehe

Sejenak saya berpikir..

Betapa kedewasaan dan usia seseorang itu tak jarang berjalan beriringan.

Seseorang boleh memiliki uban diseparuh rambut kepala, tapi itu bukan jaminan tingginya budi dan tebalnya rasa dewasa. Usia hanya akan menjadi deret angka tanpa makna, jika kita tak mau berkaca dan belajar bagaimana cara melalui hidup. Sampai kapan pun kedewasaan tak akan pernah menjadi bagian diri, bila kita membiarkan diri terbelenggu bayang-bayang angan yang tak kesampaian.

Secara tidak sadar, pria dan wanita itu tadi mengajarkan pada anak-anaknya bagaimana cara menyelesaikan  masalah. Jadi jangan heran juga jika kelak anak-anaknya terlibat dalam tawuran pelajar, karena mereka telah belajar jauh-jauh hari pada diri orang tua. Jangan salahkan sekolah tempat mereka belajar, karena 'sekolah' mereka yang paling nyata adalah orang tua.

Well done is better than well said...


Jika ada diantara pembaca adalah orang tua, maka belajarlah untuk bertanya pada diri sendiri: "sudahkan aku menjadi teladan yang baik bagi anakku?" | "sudahkan aku berbuat yang terbaik untuk generasiku?"

Jika kemudian hati anda menjawab belum, maka segeralah berubah, sebelum semua yang anda lakukan itu berbalik pada diri anda sendiri dikala tua nanti..

Selamat pagi... Selamat beraktifitas

Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq. Sekian