Rabu, 22 Februari 2012

Tepo Seliro..





Alkisah seorang Raja muda yang baru saja naik tahta di sebuah kerajaan, berniat memberikan hadiah pada 2 orang abdi yang akan memasuki masa pensiun. Raja adalah seorang yang sangat bijaksana dan selalu memperhatikan semua abdinya.

Nah kali ini yang akan pensiun adalah 2 orang juru masak di dapur kerajaan. Tak satupun mengenal 2 orang ini meski mereka telah mengabdi puluhan tahun lamanya.

Akan tetapi rencana itu ditentang oleh Ibu Ratu.

Ibu Ratu berpendapat bahwa Raja hendaknya selektif dalam memberikan penghargaan pada abdi yang akan pensiun. Hanya mereka yang berjasa besar pada kerajaan saja yang harus di perhatikan. Misalnya: jenderal atau panglima perang, kemudian bendahara kerajaan atau cantrik-cantrik yang mengurusi pajak di dusun-dusun. Sebab kejayaan dan kekayaan kerajaan bergantung di pundak mereka.

Tapi Raja berpandangan lain.

Lalu Raja mengajak Ibu Ratu berjalan keliling kerajaan. Raja sangat sayang dan hormat pada Ibu Ratu sekalipun beliau sangat keras kepala, karena beliaulah yang melahirkannya.

Raja mengajak Ibu Ratu melihat para pekerja sedang membangun benteng di sudut-sudut batas wilayah.


“Ibu…. Apakah Ibu tahu kenapa saya membangun benteng itu?” Tanya Raja pada Ibu Ratu

“tentu saja untuk pertahanan kerajaan dari serangan musuh-musuh, anakku..” jawab Ibu Ratu

“Ibu… misalkan saja saya tidak membangun benteng itu, apa yang akan terjadi?” lanjut sang Raja

“tentu saja musuh akan dengan mudah masuk dan menyerang kita, anakku” jawab Ibu Ratu

“bukankah kita memiliki pasukan yang kuat dan jenderal yang hebat?” lanjut Raja

“apalah arti pasukan yang banyak dan Jenderal yang cerdas tapi tak memiliki benteng?” jawab Ibu Ratu

“lalu, apakah yang membangun benteng itu pasukan kita, Bu?” Tanya Raja

“tentu saja bukan, anakku. Adalah tukang batu yang mengerjakannya. Tak mungkin pasukan membangun benteng sementara setiap hari mereka berlatih dengan keras..” jawab Ibu Ratu



Lalu Raja mengajak Ibu Ratu berjalan menuju barak pasukannya. Berderet pasukan berbaris menghormat pada Raja dan Ibu Ratu. Tak terkecuali panglima dan jenderal-jenderal tempur yang sedang berdiskusi dibawah tenda.



“lihatlah pasukan kita Ibu.. mereka berlatih dengan keras, sementara para Jenderal berdiskusi didalam tenda” kata Raja

“para jenderal itu sedang mendiskusikan strategi perang, anakku” jawab sang Ratu

“di kepala merekalah peperangan akan kita menangkan” lanjut ibu Ratu

“baik Ibu, aku mengerti..” kata Raja



Kemudian mereka berdua berjalan menuju tempat makan disebuah danau yang sejuk dibawah rerindangan pohon yang asri.



“Ibu, kita sudah berkeliling seharian ini. Ibu sudah memberiku pengetahuan baru dalam memimpin kerajaan. Ijinkan saya bertanya pada ibu..” pinta Raja

“apa itu anakku..?” jawab sang Ratu

“kita sudah melihat tukang batu yang membangun benteng, pasukan yang berlatih keras dan kegiatan para jenderal-jenderal perang. Manakah dari ketiganya yang lebih penting bagi kerajaan? Tanya sang Raja

Ibu Ratu terdiam sejenak. Lalu menjawab

“Semuanya penting anakku. Pasukan tak dapat berperang dengan baik tanpa bimbingan para jenderal dan para jenderal tak dapat menyusun strategi yang baik tanpa didukung benteng yang kuat..” jawab Ibu Ratu

“jadi mereka semua berjasa pada kerajaan dan layak mendapat hadiah pensiun dari kerajaan?” Tanya sang Raja

“iya anakku. Merekalah yang ibu maksud berhak atas tanda jasa darimu” jawab Ibu Ratu

“lalu bisakah mereka berperang tanpa makan….?” Tanya sang Raja


Kali ini ibu Ratu tersadar bahwa dirinya telah digiring oleh sang Raja pada satu pemikiran. Raja berhasil menyadarkan sang Ratu bahwa juru masak pun memiliki jasa yang luar biasa besar dan tak kalah dibandingkan dengan pasukan ataupun jenderal-jenderal tempur.

Memang para juru masak tidaklah nampak berperang menghadapi musuh, tapi tanpa juru masak yang bekerja tanpa henti untuk mempersiapkan makan bagi pasukan-pasukannya, maka semuanya akan menjadi tak berarti. Dari sejak itu Ibu Ratu paham dan setuju bahwa seluruh abdi kerajaan mendapat tanda jasa saat pensiun.

Dari ilustrasi cerita diatas dapat kita petik pelajaran penting, bahwa seluruh elemen dalam sebuah organisasi atau apapun itu (termasuk dalam keluarga) adalah bagian penting yang tak terpisahkan. Satu dengan yang lain ada untuk saling menopang. Memang yang sering nampak dipermukaan adalah yang sering dianggap paling berjasa. Padahal bisa saja yang nampak itu hanya duduk, sementara yang sesungguhnya bekerja sedang beristirahat karena kelelahan bekerja.


Yang nampak didepan mata tak semuanya benar, tapi juga tak selalu salah.


Contoh lain yang agak berbeda sedikit tapi masih senada.


Tahun 2000 dulu, FPI (Front Pembela Islam) pernah teriak-teriak meminta pemerintah untuk membubarkan Komnas HAM karena sering membela orang-orang yang ditindak oleh mereka. Akan tetapi saat ini FPI meminta perlindungan di Komnas HAM karena posisinya sedang tersudut akibat maraknya permintaan agar FPI dibubarkan. Inilah yang terjadi jika seseorang atau sebuah organisasi bertindak apriori. Selalu memandang segala hal dari perspektifnya sendiri. Mereka tidak sadar bahwa segala sesuatu disusun berdasarkan hukum saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Tidak bisa kita tersenyum manis saat membutuhkan dan bertindak sewenang-wenang saat tak membutuhkan. Apa yang terjadi jika Komnas HAM bertindak sebagaimana dulu FPI memperlakukan mereka? Atau kalau persoalan pada cerita kerajaan diatas, bagaimana jika para juru masak mogok dan tak mau lagi memasak, apakah ibu Ratu sanggup memasak untuk ratusan ribu pasukan????

Saya bangga dilahirkan di Indonesia. Sebuah Negara dengan adat ketimuran yang (konon) masih dijunjung tinggi. Dalam adat timur dikenal istilah tepo seliro. Sebuah adagium yang berarti empati atau kedudukan sejajar saling menghormati. Seyogyanyalah kita berbahagia menjadi bagian dari Negara yang memiliki adat seperti itu. Bagaimana caranya? Ya kita lestarikan dengan cara melaksanakannya dikehidupan kita sehari-hari.

Memang sangat nyaman ketika seseorang menjadi Jenderal, panglima perang atau cantrik dalam kisah itu. Semua serba ada dan telah disiapkan oleh para abdi. Tinggal perintah semua ada.

Tetapi sebagaimana abdi yang pada akhirnya pensiun ketika telah sampai pada batas usia yang dipandang oleh kerajaan tak lagi mampu berakselerasi dengan kebutuhan kerajaan, maka para Jenderal dan Panglima perang kerajaan pun demikian. Ketika dipandang telah sangat berumur dan tak dapat lagi melakukan peperangan, maka Raja akan mempensiunkan Jenderal-Jenderal tersebut dan menggantinya dengan jenderal-jenderal yang masih muda dan cerdas. Ketika memasuki masa pensiun itu maka segala fasilitas dan pelayanan prima yang diberikan oleh kerajaan, akan hilang seketika dan menjadi rakyat biasa. Jika jenderal-jenderal itu tak ramah dan tepo seliro saat memimpin, bagaimana ia akan melanjutkan hidupnya sebagai rakyat jelata ketika berada ditengah-tengah masyarakat???


Saya pikir sudah saatnya bangsa Indonesia untuk berpikir lebih dewasa dan melestarikan budaya-budaya bangsa seperti tepo seliro ini. Negara boleh maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Juga sangat baik memiliki angka pertumbuhan ekonomi tertinggi se Asia. Tapi apa arti itu semua jika bangsa ini telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang memegang teguh adat ketimuran, yang salah satunya adalah tepo seliro ini.



So…. Berpikirlah dua kali sebelum bicara. Jangan asal njeplak





Al haqqu min rabbika fala takunanna min al mumtarin
In uridhu ilal ishlaha wama taufiqi ila billah 
Wallahu a’alam bish shawab


sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar