Rabu, 15 Mei 2013

Tidak Pernah Kuldesak

Seperti biasa, berbagai hal datang dan pergi di kehidupan saya. Seperti nafas yang kita hirup, lalu sesaat kemudian kita lepaskan. Tapi diantara helaan nafas itu ada yang tertahan, yaitu kenangan. Ya, betapapun pahitnya sebuah kenangan, ia akan tetap menempel dalam kehidupan kita layaknya bayang-bayang.

Contoh....

Saya dulu adalah penjual koran di perlimaan Universitas Brawijaya Malang. Mau diapakan lagi, itulah fakta, meski kini adalah bagian dari kenangan. hehe...

Soal cerita tentang saya menjadi penjual koran tidak akan saya ulas disini. Sudah sering saya ceritakan lewat twitter. hehe... 

Yang ingin saya share kali ini adalah dunia tulis menulis. Lho kok? Apa hubungannya dengan kenangan?

Begini... *benerin peci*


Saya itu dulu orang yang ngga bisa nulis sama sekali. Maksudnya mengungkapkan apa yang terjadi disekitar kita lewat sebuah tulisan. Atau menceritakan sebuah kisah lewat tulisan. Atau mengeluarkan ide-ide dan gagasan lewat tulisan. Saya tidak bisa. 

Ketidakbisaan saya ini bukan dikarenakan saya kurang membaca atau minim literatur. Ketidakbisaan saya dalam hal tulis menulis dikarenakan tak ada yang menjadi 'pemicu' saya untuk menulis. Ibarat pemantik, butuh gesekan untuk menyalakan api. 

Saya sadar dalam kepala saya ini sering menangkap hal-hal unik yang menurut saya layak untuk dijadikan tulisan, tapi saya tidak tahu bagaimana cara menuliskannya. Sehingga kejadian-kejadian itu berlalu begitu saja. Sayang banget. Padahal bila kejadian unik itu saya rupakan tulisan, maka hikmah yang saya tangkap itu bisa bermanfaat bagi orang lain yang membacanya.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” kata Pramoedya Ananta Toer

Nah disinilah kenangan itu dimulai.. *jreng*

Allah selalu punya jalan untuk mempertemukan hambanya dengan jalan yang telah IA tentukan.

Tiba-tiba saja saya menemukan seseorang yang awalnya saya kira adalah teman kuliah. Seseorang itu bernama Sheila. Saya bertemu dengan Sheila diranah Facebook. Suatu dunia maya yang telah saya tutup.. hahaha.. Ironis

Oke.. Cerita punya cerita, beberapa lama kemudian saya membaca tulisan-tulisannya. Hmm... Penuh bakat. Saya tertarik untuk belajar padanya. Kalau dia bisa, kenapa saya tidak? Pikir saya saat itu.

Mulailah saya coba chat dengan dia. Voila! Dia ternyata orang yang cukup terbuka. Kami berdiskusi cukup panjang dan lebar. Dari chat itulah, saya mulai sedikit terpantik untuk menulis. Baru terpantik ya, belum menulis.. hehe

Sampai suatu ketika, saya beranikan diri untuk menulis di catatan facebook. Agak-agak cemas juga ketika akan memencet tombol 'publikasikan'. Takut kalau tulisan saya tak dapat diterima dengan baik oleh pembaca, takut mendapat kritikan dari pembaca dsb. Tapi saya coba halau itu semua. Tak ada yang sempurna, begitu pikir saya untuk menenangkan bathin.

Saya ingat betul komentar pertama di catatan itu: "well done, sir.. ramuan antara pemikiran materialis, agama dan nasionalis yang dipadu dengan cantik.."

hahay.. Komentar itu seketika melonjakkan semangat saya untuk menulis. Dan mulailah gagasan-gagasan itu mengalir deras di otak saya. Saya pun mulai menulis untuk majalah, buletin dan koran. Pendek kata, jejak tulisan saya ada dimana-mana.

Tapi mendadak sahabat maya saya itu menghilang dari peredaran. Tanpa pamit. Tanpa alasan. Wajar sih, namanya juga dunia maya. Hanya saja, sepertinya dia lupa (atau mungkin tidak tahu) bahwa hadirnya sangat berarti bagi semangat menulis saya.

Saya seperti Sherlock Holmes yang kehilangan Dr Watson, sahabat karibnya. Holmes boleh jenius dalam novel karangan Sir Arthur Conan Doyle tersebut, tapi ia nyaris tak berdaya tanpa 'Boswell' nya itu..

Saya pun seperti kehilangan kompatriot.

Bagaimana saya harus menulis jika tak punya pena? Ibarat kata seperti itu.

Lama saya tak menulis. Saya kembali pada keadaan semula. Membiarkan semua kejadian berlalu begitu saja.

Tapi kemudian jemari saya ini seperti gatal bila tak menulis sesuatu. Tumpukan gagasan dan ide cerita di otak saya mulai berangsur-angsur protes, minta dikeluarkan. Akhirnya dengan segala kelemahan yang ada, saya beranikan diri untuk menulis lagi.

Diluar dugaan. Saya malah makin menggila. Membuat 3 blog sekaligus (termasuk blog ini hehe) untuk menumpahkan semua ide dan gagasan yang berbeda. Dan terakhir, saya memberanikan diri untuk meluncurkan sebuah buku. Tepatnya sebuah novel berjudul 1Cinta. 

Novel itu saya publikasikan melalui skema direct sale (via email robethfuad@yahoo.com). Bukan karena tidak masuk pada major lable (2 major lable saya tolak untuk menerbitkan novel saya itu) tapi lebih karena saya tidak ingin tulisan saya dijamah oleh editor.. haha..

Alhamdulillah... Novel saya itu diterima publik dengan baik. Bahkan jilid II (dari III jilid yang saya rencanakan) sudah dinantikan oleh pembaca. Saya bersyukur karena itu. Artinya, cerita yang saya sampaikan dapat tempat dihati pembaca. What else shoul I be? :)

Waktu terus berjalan. Kehidupan pun demikian.

Sama seperti kepergiannya yang secara tiba-tiba, sahabat saya itu muncul lagi (juga dengan tiba-tiba).


"God Sake! Is that you?" begitu sapa saya pertama kali melihat sapaannya. Bulu tangan saya sontak berdiri. 3 tahun lamanya saya menanti kehadiran sahabat saya itu.

Kegembiraan hati saya pun membuncah. More than I expected, saya bisa berbincang melalui BBM dan email dengannya. Banyak hal yang kami perbincangkan. Tak perlu saya tulis disini kan....? Hahaha

Hingga akhirnya, perbincangan kami bermuara pada sebuah gagasan yang saya ajukan untuk membuat sebuah novel bersama. Kami berencana untuk meluncurkan novel pertama yang tercipta dari dua kepala. Sulit (mungkin). Tapi tak pernah Kuldesak. Selalu ada cara bila kita punya cita-cita.

Finally.. Sahabat tidak harus diawali dengan perjumpaan fisik, tapi yang pasti sahabat haruslah menjadi bagian dari sebuah kisak klasik. Begitu saya tulis di twitter untuk menyambut kemunculannya. Tidak banyak yang saya harapkan dari kehadirannya. Bagi saya, dia ada saja, sudah cukup. Sederhana sekali bukan? Yah itulah arti sahabat (bagi saya). Tak banyak basa basi, yang pasti kehadirannya memiliki arti.

Well....

Sebagai penutup tulisan, bolehlah kiranya saya kutip ucapan Holmes pada Watson dalam novel detektif kenamaan itu: “Not a bit, Doctor. Stay where you are. I am lost without my Boswell.”


Selamat siang. 


Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar