Senin, 13 Februari 2012

3 F...!!


selamat pagi, temans....

di hari yang cerah ini saya ingin menulis tentang seorang tokoh yang saya anggap penting untuk dikaji.  saya yakin teman-teman tahu siapa dia, minimal pernah mendengar tentang tokoh ini.

Aung San Suu Kyi.

ya....

dia adalah tokoh pergerakan di Myanmar. sosok wanita pemberani yang selalu berada di garda terdepan dalam pembelaan hak-hak asasi manusia di negeri yang dulunya bernama Birma itu. untuk ukuran seorang wanita, Suu Kyi benar-benar luar biasa. dinginnya sel penjara seolah tak mampu menaklukkan kebesaran nyalinya menghadapi bayonet junta militer di negara seluas 680 ribu km² ini.

Suu Kyi sebenarnya bukanlah seorang new comers di ranah politik negara berpopulasi 50 juta jiwa ini.

ayahnya Aung San adalah seorang pejuang kemerdekaan negeri itu kala zaman penjajahan Inggris. Aung San adalah seorang ayah sekaligus figur idola untuk Suu Kyi sebagaimana ia ungkapkan dalam sebuah pernyataannya "apabila aku menghormati ayahku, aku menghormati semua yang berdiri tegak untuk integritas politik di Birma"

lalu, apa yang bisa dikaji dari seorang Suu Kyi? apa pentingnya wanita ini?

untuk mengetahui peran besar Suu Kyi terhadap pembelaan hak-hak sipil di negara tersebut, ada baiknya juga saya sertakan sejarah singkat kejadian yang melatarinya, sehingga terbuka lebih jernih untuk membedah peran besar wanita peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 ini lebih dalam.

Aung San, ayah dari Suu Kyi, bersama U Nu adalah tokoh utama di balik kemerdekaan Birma dan menjadi pemimpin negara. Akan tetapi, pada tahun 1962, militer yang didominasi etnis  Birma  mengambil alih kekuasaan negara. Ne Win adalah otak di balik kudeta itu.

Cikal bakal junta militer sekarang (disebut sebagai Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan / SPDC) berasal dari kekuasaan Ne Win itu. SPDC sendiri didominasi oleh etnis Birma. Konfigurasi kekuasaan hak pun menjadi tidak berimbang antara etnis Birma yang mendominasi dan etnis non-Birma yang merasa ditindas. Sehingga muncullah perlawanan dari beberapa etnis non-Birma, termasuk etnis Karen, yang mendominasi wilayah pegunungan di utara, yang dikenal sebagai golden triangle (segitiga emas).

etnis Birma memilih cara apa pun untuk mencegah hal itu terjadi. Sejak 1960-an, terjadilah diaspora warga Myanmar. Berbagai warga Myanmar dari kelompok etnis kini tinggal di Thailand, Bangladesh, Cina, Laos, dan India. Semua negara ini berbatasan langsung dengan Myanmar.

Kemenangan kubu demonstrasi, pimpinan Aung San Suu Kyi pada Pemilu tahun 1990, tak dikehendaki oleh kelompok etnis Birma. Kubu Suu Kyi dan dan etnis non-Birma lainnya merupakan ancaman bagi supremasi etnis Birma. Kemenangan Suu Kyi pun dihadang. Kekuasaan direbut. Beginilah yang terjadi seterusnya dan seterusnya.

Suu Kyi sendiri lahir pada 19 Juni 1945. pada tahun 1960 ia hijrah ke India mengikuti ibunya yang bertugas sebagai duta besar disana. setelah lulus dari Lady Shri Ram College di New Delhi pada tahun 1964, ia melanjutkan pendidikannya di St Hugh's College, Oxford, memperoleh gelar B.A. dalam bidang Filosofi, Politik, dan Ekonomi pada tahun 1989. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya di New York, dan bekerja untuk pemerintah Persatuan Myanmar. 

Pada tahun 1972, Aung San Suu Kyi menikah dengan Dr. Michael Aris, seorang pelajar kebudayaan Tibet. Tahun berikutnya, ia melahirkan anak lakh-laki pertamanya, Alexander, di London; dan pada tahun 1977 dia melahirkan anak kedua, Kim, yang belajar di George Washington University dari Januari 1991 sampai Februari 1991.

Tentu, Suu Kyi bukan hanya seraut gading dari nama besar mendiang ayahnya. Suu Kyi adalah pemimpin oposisi untuk hak-hak asasi di Myanmar dan penerima Hadian Nobel Perdamaian 1991. Namun, memang ada yang tak terelakkan bila seseorang jadi anak seorang tokoh pergerakan nasional yang dianggap pahlawan. Komitmen Suu Kyi tak bisa dilepaskan dari ayah itu, Aung San, d`n tanah air itu, Myanmar.

Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan

itu adalah kata-kata yang selalu ia dengungkan. ia benar-benar ingin membebaskan rakyat Myanmar dari topangan senjata untuk berdirinya sebuah negara. ia inginkan sebuah demokrasi yang terbebas dari rasa takut.



Freedom From Fear

berkaca pada apa yang terjadi di Myanmar, sepertinya upaya-upaya memarginalkan dan menyingkirkan orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa namun berpotensi untuk meruntuhkan sebuah dominasi kekuasaan, terjadi dibelahan bumi manapun, tak terkecuali Indonesia.

saya sendiri tidak paham atau setidaknya belum mengerti benar konsep-konsep kekuasaan.

saya hanya melihat bahwa betapa indahnya jika sebuah kekuasaan berdiri atas tegaknya demokrasi (dalam artian yang sesungguhnya).

saya punya contoh kecil.

saya adalah penentang kekerasan dan arogansi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi massa. ambillah contoh FPI. tidak jarang dalam akun jejaring sosial saya mengkritik habis kekerasan yang mereka lakukan. tapi saya juga tidak setuju bila ada sekelompok orang, dengan eskalasi yang sama, melakukan kekerasan terhadap FPI untuk membubarkan dan atau melakukan semacam pembalasan.

saya teringat sebuah kata-kata bijak dari Mahatma Gandhi:

 "An eye for an eye makes the whole world blind"


kata-kata tersebut kurang lebih bermakna seperti ini

 "jika satu mata yang dihilangkan harus dibalas dengan menghilangkan satu mata pula, dunia akan berisi banyak sekali orang buta"

secara kontekstual dapat saya artikan bahwa membalas kesewenang-wenangan dgn kesewenang-wenangan (yang sama) tak akan pernah dapat meniadakan kesewenang-wenangan itu sendiri.

atau contoh lain, kekerasan atas kaum Ahmadiyah.

saya sangat marah ketika mengetahui Agama saya dilecehkan dengan mengatakan ada Nabi lain setelah Muhammad. itu terang-terangan menggunduli syariat yang ada dalam Agama Islam bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. tapi itu bukan sebuah alasan untuk kita bertindak sewenang-wenang dan diluar batas kemanusiaan.

Nabi tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Nabi justru mengajarkan sikap pemaaf dan kesabaran dalam beragama.

intinya adalah bagaimana membiasakan diri dengan perbedaan agar spektrum pemikiran kita dapat dengan sabar menerima suara yang berbeda. 

silahkan berbeda, karena pada hakekatnya setiap individu dilahirkan dalam keadaan yang berbeda. ketika kita dapat menghormati dan menerima perbedaan yang ada sebagaimana orang lain menghormati perbedaan yang kita punya, maka saat itulah kesewenang-wenangan dan kekerasan akan hilang dengan sendirinya.

berbicara tentang pembelaan hak-hak kaum minoritas, kaum tertindas, kaum yang termarjinalkan dan sebagainya, sebagai Rakyat Indonesia, saya memandang ada seorang tokoh yang tak pernah surut langkah untuk berjuang di jalan ini.

GUS DUR....

semasa hidupnya, beliau adalah pejuang HAM dan pluralisme yang menurut saya layak mendapatkan penghargaan Nobel. lihatlah rekam jejaknya. dimana ada wong cilik yang ditindas, disitu Gus Dur bersikap tegas. lihat pula perjuangannya untuk etnis Tionghoa di Indonesia. dan berbagai pembelaannya terhadap kaum-kaum yang lemah. 

tak dapat saya tuliskan satu persatu jasa beliau di Republik ini. sayang, beliau pun akhirnya menjadi korban pemarjinalan oleh orang-orang yang merasa kepentingannya tereduksi sejak era kepemimpinan beliau. beliau disingkirkan dengan cara-cara yang inkonstitusional. beliau berdiri sendiri menentang arus yang tidak menghendaki agenda reformasi berjalan sempurna. tapi sikap seorang negarawan beliau tunjukkan kala itu, beliau tidak mengizinkan aksi massa yang mengatasnamakan Pasukan Berani Mati untuk bergerak. kalau saja beliau memberikan lampu hijau terhadap aksi massa itu, bisa jadi Indonesia akan terjebak dalam sebuah kemelut perang saudara. mengingat, beliau adalah cucu dari pendiri NU, sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar se Asia, yang saat itu dengan tegas berdiri dibelakang Gus Dur.

kemarin tanggal 12-02-2012 diadakan haul ke-2 beliau di GOR Delta Sidoarjo. terlepas dari nuansa politik yang sangat kental dalam acara tersebut, namun saya hargai setidaknya ada sebentuk apresiasi pada tokoh perjuangan HAM disaat Republik ini kembali gemar dengan upaya-upaya pemarjinalan. jikalau dulu ada tokoh yang bergerak dan membela kaum yang tertindas dan termarjinalkan itu, untuk sekarang saya tak tahu kepada siapa harapan itu hendak dibebankan.

Jika Myanmar punya Aung San Suu Kyi yang selalu diandalkan dalam penegakan HAM, maka Indonesia memiliki Gus Dur untuk selalu kami kenang.


"Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tanpa mebedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka-undang-undang.." (K.H Abdurrahman Wahid)





sekian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar