Selasa, 03 April 2012

~ dari hati untuk logika ~

selamat sore, sahabat-sahabat pena yang budiman..

di sore yang hangat ini izinkan saya untuk mengulas perihal rapat paripurna DPR beberapa saat yang lalu, dimana gaungnya masih terasa sampai detik ini. tak hanya itu, reaksi-reaksi pun justru makin deras bermunculan pasca paripurna yang menetapkan APBN-P 2012 itu.

riak-riak kecil hingga gelombang penolakan bermunculan bak cendawan di musim hujan.

friksi-friksi itu bermunculan dengan muara penolakan terhadap disahkannya  penambahan ayat 6A dalam Pasal 7 UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.

kita lihat bedah dan ulas ini dengan jernih, kontrol emosi yang baik dan tentunya bebas kepentingan.

pertama: 

beberapa pihak penentang kebijakan kenaikan harga BBM sekaligus menganggap bahwa keputusan penambahan ayat 6A dalam pasal 7 pada UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 cacat hukum. benarkah demikian?

saya akan sajikan sebuah argumentasi hukum mengenai hal itu. 

dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)  Pasal 161 ayat (4) menyebutkan, pembahasan dan penetapan RUU tentang perubahan APBN dilakukan oleh pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 bulan.

dalam pelaksanaan Sidang Paripurna memang sempat molor hingga sabtu dini hari. sementara dalam pasal tersebut tertulis paling lama 1 bulan sejak di serahkannya RUU APBN yang mana telah diserahkan oleh Pemerintah pada tanggal 29 Februari, artinya jika melebihi pukul 00.00, maka RUU APBN-P 2012 tidak bisa dibahas dan harus kembali pada Undang-undang yang lama. mengingat gentingnya waktu pelaksanaan serta krusialnya pasal yang dibahas, maka Paripurna memutuskan waktu pembahasan diperpanjang hingga pukul 01.00 dini hari.

dari sini dapat kita petik bersama bahwa berdasarkan mufakat, telah dicapai keputusan untuk memperpanjang masa pembahasan. pun demikian, penetapan APBN-P 2012 pada 31 Maret 2012 sekitar pukul 1.00 WIB tersebut tetap sah secara formil, karena masih dalam rentang waktu yang dibolehkan dalam UU MD3 pasal 161 ayat (4). waktu 1 bulan yang dimaksudkan di dalam UU MD3 itu adalah waktu pembahasan dan penetapan oleh Badan Anggaran, yang berarti dihitung sejak Banggar mendapatkan penugasan, yaitu tanggal 6 Maret 2012, bukan dihitung dari tanggal penyerahan surat dari presiden ke DPR, yaitu 29 Februari 2012.

yang kedua.

ahli Tata Hukum Negara, Yusril Ihza Mahendra mengajukan judicial review atas UU APBN-P khususnya pasal 7 ayat 6a, karena dianggap cacat secara materiil karena menyerahkan harga minyak pada mekanisme pasar. menurut saya,  Pasal 7 ayat 6a tidak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 UUD 1945 dan substansi ayat 6a itu sama dengan UU Migas sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). bunyi Pasal 28 ayat (2) UU Migas adalah "Harga BBM dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar". 

saya bukan ahli hukum tata negara, hanya berpendapat berdasarkan logika. berikut pandangan saya.

Pasal 7 ayat 6a menetapkan kewenangan pemerintah dalam penyesuaian harga BBM atas dasar ICP (Indonesian Crude Price). selengkapnya pasal tersebut berbunyi: " dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari … % (… persen) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya."

"berdasarkan Indonesian Crude Price..." bunyi salah satu redaksi dalam pasal itu. artinya, adalah penetapan harga BBM sama sekali bukan diserahkan pada mekanisme pasar, melainkan pada Indonesian Crude Price (ICP). 

dari situ kita dapat menilai bahwa harga BBM tidak diserahkan pada mekanisme pasar. jika kenaikan harga BBM diserahkan pada mekanisme pasar, tentulah tidak lagi ada pos subsidi sebesar Rp137,4 Trilliun pada UU APBN-P 2012. lantas mana unsur dalam  pasal 7 ayat 6a yang dengan tegas menyatakan bahwa keputusan paripurna tentang pasal tersebut bertentangan dengan pembatalan pasal 28 ayat (2) UU 22/2001 tentang Migas??

dengan dibatalkannya pasal  28 ayat (2) UU 22/2001 tentang Migas oleh MK, kewenangan pemerintah untuk menentukan harga BBM bersifat atributif, artinya merupakan hak asli yang diturunkan dari Pasal 33 UUD 1945. akan tetapi, hak asli ini didelegatifkan (diberikan kewenangan berdasarkan UU APBN-P Pasal 7 ayat 6a) hanya jika kondisinya tertentu.

demikianlah ulasan saya mengenai kegaduhan yang terjadi pasca Rapat Paripurna DPR tentang kenaikan harga BBM. sekali lagi saya bukan ahli hukum tata negara, hanya menilai dari kacamata rakyat biasa yang belajar untuk berlogika atas nama fakta. 


sekian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar