Minggu, 01 April 2012

Mau Dibawa Kemana......?

"He who learns but does not think, is lost! He who thinks but does not learn is in great danger - Confucius"

kata 'instan', dulunya sangat melekat pada makanan yang berasal dari negeri matahari terbit itu. adalah Mamofoku Ando, orang Jepang kelahiran Chiayi yang menemukannya untuk pertama kali. makanan ini pertama kali masuk ke Indonesia pada medio 60-an dengan Supermie sebagai pemain tunggal. kini sudah ada ratusan merk yang beredar didalam masyarakat. Indonesia pun menjadi negara yang memproduksi mie instan terbesar dunia setelah China dengan jumlah produksi sebanyak 12,4 milyar bungkus pertahun. 

tapi tulisan saya kali ini tak hendak membahas mengenai mie instan, sama sekali tidak. secuil sejarah mengenai mie instan diatas hanyalah sebagai 'pembuka tutup botol' saja. hahahaha...

oke

seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya aktif menulis sejak masih SMP. saya pun gemar membuat puisi dan cerpen. imajinasi saya menjalar dengan bebas, tumbuh dan berbuah lebat di otak saya, nyaris tanpa batas. dan peralaman pergulatan hidup di dunia pemikiran ini saya coba tularkan pada anak-anak saya. namun saya harus lebih pintar lagi mencari cara sebab anak saya telah terpenjara oleh aturan hyper ketat dalam sekolah. ujian ini itu. tes ini itu dsb. yang saya pandang makin membelenggu kreatifitas anak saya. hal ini sudah saya ulas pada tulisan saya sebelumnya yg berjudul Filsafat Ilmu.

kali ini ulasan saya mengenai carut marut dunia pendidikan.

beberapa waktu yang lalu saya rapat dengan utusan dari The World Bank (Bank Dunia). kami berdiskusi mengenai banyak hal dalam dunia pendidikan. mulai dari dana BOS hingga rencana pelaksanaan BOSDA. mulai dari SPM bidang pendidikan hingga UU yang mengatur sistem pendidikan.

adalah Bapak Drs. Erimson Siregar, M.Pd dari Universitas Lampung sebagai teman diskusi saya saat coffee break. beliau adalah sosok yang bersahabat dan memiliki wawasan dalam menyampaikan materi. namun ada beberapa persoalan yang membuat kami berbeda pandangan, walau sejatinya kami pada satu tujuan. kami berdebat semenjak masih didalam forum dan berlanjut saat coffee break. dan diskusi kami berakhir pada sebuah arahan dari beliau agar menuangkan pendapat dan pikiran saya pada sebuah tulisan. dan inilah tulisan yang saya dapat hadirkan sebagai ringkasan dari diskusi kami saat itu.

saat ini jutaan orang tua sedang ketar ketir menghadapi Ujian Nasional yang kian dekat. mereka berharap anaknya dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. yang SD ke SMP, SMP ke SMA dan seterusnya. jadilah mereka mengikutkan putra putri tercinta pada bimbingan belajar yang menjamur di negeri ini.

tak berhenti sampai disitu, orang tua masih dipusingkan dengan pilihan tempat menimba ilmu.

seperti kita ketahui bersama, sejak diterbitkannya UU No 20/2003 terutama pasal 50 ayat 3, tentang Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), saat ini terdapat banyak sekali RSBI dan SBI di Negara ini. menurut argumentasi dari Mendikbud M. Nuh, Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) merupakan wadah atau layanan khusus bagi anak-anak pintar (Kompas, 30/12/2011).

saya skeptis dengan ini.

sekarang kita ulas secara mendalam hal ini, ditinjau dari Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang pendidikan. dalam SPM poin kesatu dituliskan bahwaa:

 "Tersedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah terpencil"

secara redaksional, poin tersebut menerangkan bahwa di satu daerah harus terdapat (minimal) satu satuan pendidikan yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. itu artinya dalam range 6 km persegi, sebuah sekolah harus dapat di akses atau melayani masyarakat dibidang pendidikan.

saya jadi berpikir, apakah benar dengan berlakunya RSBI ini maka masyarakat dalam range 6 km itu dapat mengakses pada sekolah tersebut?

oke, dalam SPM tersebut terdapat poin yang mengatakan "....di daerah terpencil." saya yakin poin tersebut akan dijadikan tameng dalam berargumentasi. namun poin tersebut sangat lemah bila melihat isi redaksi secara keseluruhan.

logikanya begini, kata tersedia pada bagian pertama point tersebut, secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti (sudah) disediakan; sudah ada; disediakan untuk.. 


artinya, sekolah disediakan untuk kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat. betul?

nah jika melihat realita yang ada, apakah RSBI/SBI dapat menjadi wadah belajar bagi SELURUH rakyat (minimal) yang berada pada range 6 km persegi?

logika simpelnya seperti ini: disuatu daerah wajib didirikan sebuah Toilet umum untuk masyarakat. tapi ketika sudah berdiri, Toilet tersebut justru tidak dapat diakses oleh masyarakat luas karena hanya masyarakat tertdntu (yang sesuai kriteria) yang boleh memanfaatkan Toilet tersebut. kalau seperti ini, maka masyarakat yang ada di range 6 km persegi (seperti yang telah diatur) bisa jadi tidak dapat memanfaatkan Toilet itu, mungkin malah masyarakat dari luar daerah tersebut yang dapat dengan leluasa mengakses Toilet itu.

menurut saya ini sangat aneh dan lucu.

lalu kemudian pernyataan Mendiknas di harian Kompas yang saya tulis diatas, menurut saya sangat rancu dan berpotensi menimbulkan multitafsir. Mendiknas mencampuradukkan antara RSBI/sekolah berstandar internasional (SBI) yang diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 dengan pendidikan khusus yang diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU yang sama.

untuk mengetahui detil mengenai SPM bidang Pendidikan sila klik link ini (SPM) atau ingin mengetahui detil UU No 20/2003 sila download di link ini UU No 20/2003 sehingga didapat gambaran yang jelas atas argumentasi dalam ulasan saya ini.

secara nyata, saya melihat terdapat banyak sekali hal-hal y`ng berlawanan dengan Undang-Undang dalam pendirian RSBI/SBI ini.

kita lihat persyaratan-persyaratan khusus dalam penerimaan peserta didik di RSBI/SBI yang tercantum pada Pasal 16 Ayat (1) Permendiknas Nomor 78 Tahun 2008 berlawanan dengan semangat Pasal 5 Ayat (1) UU No 20/2003 yang berbunyi:

 ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Selanjutnya Pasal 11 Ayat (1) menegaskan pula bahwa:

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”

jujur saja, dengan adanya RSBI/SBI dalam sistem Pendidikan Nasional (menurut saya) justru kontra-produktif terhadap kemajuan pendidikan anak-anak bangsa, sekaligus merupakan segregasi dalam dunia pendidikan yang harus segera dikaji ulang dan diubah sesuaikan agar selaras dengan UUD 1945. untuk apa dibentuk RSBI/SBI dengan tujuan meningkatkan kualitas, namun tak dapat diakses oleh masyarakat umum? kalau memang bertujuan untuk mengakomodir anak-anak yang ultra pandai, kan sudah diatur pada mekanisme sekolah khusus (Pasal 32 Ayat (1) UU No 23/ 2003), mengapa harus membuat RSBI/SBI?

sebagai rakyat kecil dan lemah saya ingin sekali bertanya, mau dibawa kemana sebenarnya dunia Pendidikan kita ini.....?? apa tidak sebaiknya RSBI/SBI ini dihapus saja dari Sistem Pendidikan Nasional?? dengan men-separasi pendidikan, apakah itu tidak malah akan menjadi semacam kastanisasi?? lalu out-put yang diharapkan seperti apa?? tidak heran jika sekarang menjamur sekolah-sekolah "asal berdiri" untuk menampung anak-anak yang tak dapat mengakses sekolah yang berkualitas. kalau sudah begini, bagaimana generasi emas akan didapat secara kontinyu di Republik ini??

hingga saat saya menerbitkan tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan itu masih saja menggantung di langit-langit pikiran saya.

ah sudahlah, mungkin ini hanya firasat buruk rakyat kecil seperti saya saja yang terlalu banyak mengkonsumsi makanan instan....



sekian







3 komentar:

  1. RSBI maupun SBI nampaknya malah membuat dunia pendidikan rancu; orangtua berat, murid terkaget kaget, dan biaya tinggi; lagipula malahan menjadi kesempatan perusahaan para guru tertentu. Benar murid tidak mendapat keadilan dalam mengakses sekolahannya.

    BalasHapus
  2. Cita2 dalam U2 sulit dilaksanakan; mungkin perencanaan yg kejar pretise/target, banyak sekali faktor luar yg belum mendukung

    BalasHapus
  3. Bu Indro: sepakat. biaya tinggi. tolong sebarkan link ini agar para pemangku kebijakan sadar. terimakasih

    Saudara Ben: benar. harus segera diubahsesuaikan dengan undang-undang. tolong sebarkan link ini agar para pemangku kebijakan sadar. terimakasih

    BalasHapus